Rasanya
cukup sekali saja diriku menginjakkan kaki di gunung bromo.
Menjelajahi seluruh keindahan gunung bromo, itu yang terpenting, agar
nanti tidak merasa penasaran lagi. Sebenarnya, ini bukan pertama
kalinya kakiku melangkah di lautan pasir gunung bromo. Ketika aku
masih duduk di bangku sekolah kejuruan, aku dan sepeda gunungku pergi
berdua melintasi gunung semeru untuk biasa
menikmati indahnya gunung bromo seperti yang banyak orang bincangkan. Namun, waktu itu aku tidak bisa menikmati keindahan gunung bromo secara keseluruhan. Karena waktu itu gunung bromo masih mengalami erupsi. Dari pada melawan resiko, lebih baik aku urungkan saja niatku. Padahal waktu itu aku sudah berada di lautan pasir gunung bromo.
menikmati indahnya gunung bromo seperti yang banyak orang bincangkan. Namun, waktu itu aku tidak bisa menikmati keindahan gunung bromo secara keseluruhan. Karena waktu itu gunung bromo masih mengalami erupsi. Dari pada melawan resiko, lebih baik aku urungkan saja niatku. Padahal waktu itu aku sudah berada di lautan pasir gunung bromo.
Perjalanan
ke bromo, aku ulangi lagi di bangku kuliah. Tapi aku tidak sendirian
lagi kesana. Bersama rekan-rekan Anggota Satuan Resimen Mahasiswa 863
“SAKERA” Universitas Trunojoyo Madura, aku memiliki banyak
harapan untuk bisa mengulangi pengalamanku sebelumnya untuk lebih
indah lagi.
Perjalanan
kami dimulai pukul 16.00 tepat dari kampus Universitas Trunojoyo
Madura tercinta. Berangkat naik sepeda motor dan berboncengan. Keluar
dari gerbang kampus, kami langsung menuju pelabuhan Ujung, Kamal. Ya,
kami menyebrangi selat Madura menggunakan jasa penyebrangan kapal,
tidak lewat jembatan suramadu karena ada senior kami yang sudah
menunggu di pelabuhan perak Surabaya.
Sesampainya
di pelabuhan perak Surabaya, senior kami yang barusan aku bicarakan
sudah lama menunggu di salah satu sudut jalan kota Surabaya. Kamipun
berangkat menuju gunung bromo, Probolinggo. Perjalanan di kota
sebesar Surabaya, kemacetan sudah menjadi hal biasa. Perjalanan kami
berawal dari kota pahlawan, Surabaya, diteruskan ke kota lobster,
sidoarjo, kemudian ke kota pasuruan, dan tiba di kota yang kami tuju,
Probolinggo. Tentu saja perjalanan kami dilalui dengan banyak sekali
hambatan. Mulai dari kehilangan anggota yang tersesat diperjalanan,
terjebak kemacetan, hingga hampir kecelakaan. Namun, kami bisa
selamat tanpa kecelakaan sesampainya di kota Probolinggo.
Perjalanan
kami sebenarnya baru dimulai ketika memasuki kawasan Tengger, tempat
gunung bromo berada. Bagaimana tidak, kondisi jalan yang naik-turun
dan berliku membuat sepasang bola mata kami harus fokus ke depan.
Jalan berlubang, tebing curam dan berdebu menjadi santapan kami malam
itu. Namun, kami tetap menikmati suasana kala itu, jalan berliku-liku
dan naik turun rupanya memberikan ekstensi tersendiri. Terasa tegang
dan menyenangkan, sampai-sampai aku dan seniorku hampir masuk jurang.
Tidak
disangka juga, bahwa disana juga berdiri sebuah POM bensin meskipun
terletak cukup jauh dari gunung bromo. Namun tiu cukup untuk mengisi
bensin motor kami yang kosong. Sekitar pukul 01.00 dini hari akhirnya
kami sampai di lokasi. Datang dan langsung mencari penginapan buat
istirahat di sisa-sisa malam. Tinggal di penginapan, tetap saja udara
ekstrim dingin gunung bromo menyelimuti ruangan yang cukup luas itu.
Pulul
03.30, kami mulai beraktivitas menuju gunung bromo untuk melihat
matahari terbit. Ooh ternyata jam segitu sudah banyak sekali
pengunjung yang berbondong-bondong meramaikan gunung bromo. Antrian
panjang karena pembayaran tiket lagi-lagi harus kami hadapi. Tiket
masuk 27.000 untuk 1 motor berboncengan.
Perjalanan
melelahkan melewati banyak mobil yang antri berhasil kami lalui,
hingga alkhirnya kami sampai pada tempat batas berkendara motor.
Kendaraan kami harus dititipkan, karena perjalanan ke atas harus
dilakukan dengan jalan kaki, mengingat jalan yang akan dilalui sangat
curam. Sebelum kami benar-benar mencapai ketinggian, ratusan anak
tangga sudah menunggu kami diatas. Namun, itu tidak akan menimbulkan
masalah besar bagi kedua kaki kami yang semakin mulai menguat seiring
dekatnya gunung bromo.
Sesampainya
diatas, cukup lama kami menunggu datangnya sang fajar. Dan akhirnya
muncul. Sinar matahari terbit atau sunrise yang banyak orang
bicarakan karena keelokannya, hanya terbayang biasa saja
dipandnganku. Entah kenapa bisa seperti itu. Mungkin karena mendung
juga bisa menghalangi indahnya warna sunrise. Yang terpenting buatku
adalah menatap secara langsung keindahan gunung bromo dan sekitarnya.
Kali ini aku benar-benar melihat langsung gunung bromo, tidak lagi
melihatnya di gambar atau televisi. Benar-benar menakjuban.
Setelah
lama memandangi gunung bromo, kami berjalan lebih dekat lagi untuk
melihat lebih dekat gunung bromo. Lautan pasir yang cukup luas harus
kami taklukan. Kawah gunung bromo menjadi penarik perhatianku kala
itu. Namun, lagi-lagi ratusan anak tangga harus aku lewati.
Sepertinya beberapa temanku sudah mulai kelelahan dan tidak mau
menaiki anak tangga yang sedemikian banyaknya. Terpaksa aku mendaki
sendirian, meninggalkan beberapa temanku yang juga ingin melihat
kawah bromo.
Benar-benar
usaha yang maha berat untuk bisa ke puncak bromo. Pasir tebal, debu,
bau kotoran kuda, jalanan yang curam terus mencoba mengurungkan
niatku. Namun, pelan tapi pasti, aku mulai sampai di anak tangga
pertama, kedua, ketiga hingga anak tangga terakhir. Wah, bukan main
leganya, aku bisa kembali menghirup udara segar di puncak gunung
bromo.
Kawah
gunung bromo yang sejak dahulu aku pikirkan berupa lava, ternyata
hanya sebuah genangan air mendidih yang mengandung belerang. Ya cukup
kecewa juga dengan pemandangan yang demikian. Tapi tidak apalah. Bisa
melihat secara langsung dan tidak lupa untuk mengambil gambarnya, itu
yang paling penting.
Selesai
menikmati indahnya kawah gunung bromo. Aku langsung turun kembali ke
tempat peristirahatan. Sempat terpikir, lewat tangga lagi atau jalan
pintas menyusuri pasir curam. Sepertinya, jalan berpasir yang tepat
dihadapanku ini memberikan tantangan lebih dari pada menuruni tangga
yang membosankan. Ternyata dugaanku benar, pasir yang halus tanpa
debu benar-benar menyenangkan, teringat masa kecil dahulu ketika
bermain pasir di depan rumah.
Sesampainya
di peristirahatan, aku sempatkan kakiku untuk masuk ke Pura. Ternyata
di dalamnya biasa-biasa saja. Karena belum waktunya menggelar acara
adat yang biasa dilakukan oleh penduduk asli Tengger.
Lama
kami menikmati hampir seluruh keindahan gunung bromo, kami pun
kembali lagi ke penginapan. Yah segenap pengalaman yang belum pernah
aku rasakan akhirnya terpenuhi.
0 komentar:
Post a Comment